2.27.2015

Apa yang Bisa Salah - Bisa Salah

Menggarisbawahi kajian Kamis kemarin hari, apa yang bisa salah - bisa salah. Kasus yang diangkat oleh ustadz adalah tentang pasangan suami istri yang menurut sepemahaman mereka bahwa mereka telah mengamalkan agama Islam dengan benar. Namun pada kenyataannya mereka belum mampu mendidik anak mereka menjadi seperti mereka. Di sisi lain, menurut sepemahaman pasangan tersebut ada keluarga yang orang tuanya tidak sholat, akan tetapi dikaruniai anak yang rajin belajar agama. Pasangan keluarga shalih tersebut pun bertanya, Bagaimana sesuatu negatif keluar dari sesuatu yang positif, apa yang salah?

Lantas ustadz pun memberikan pandangannya. Sebagai orang beriman, dan salah satu iman kepada sifat Allah bahwa Dia Dzat yang Maha Sempurna tidak akan menganiaya hambanya. Berbaiksangkalah.

Lantas bermacam ilustrasi diberikan oleh ustadz:
1. Dengan anak yang "bandel" tersebut, yang mengantarkan, mendekatkan pasangan suami istri tersebut kepada Allah.
2. Ujian menimpa kepada orang untuk ditingkatkan derajatnya, bukan direndahkan.
3. Ujian tidak akan menimpa kecuali bahwa yang diuji mampu untuk melewatinya. Itu tanda bahwa Allah memberikan keistimewaan bagi hamba yang diuji - setidaknya masih diuji berarti masih ada kesempatan untuk naik kelas.

Semacam klise mungkin bagi saya yang berlatar belakang budaya Jawa sudah ditanamkan tentang bersyukur ini jauh dari kecil - bahkan semacam menjadi olok-olokan teman-teman di luar suku Jawa. Tetapi alangkah bahagianya ternyata ajaran didikan tersebut selaras dengan ajaran Islam. Atau bahkan itu mungkin peninggalan akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Allah lebih tahu.

Satu kalimat penutup. Apa yang bisa salah (dalam pikiran kita) - bisa salah (dalam hakikatnya).